Tuesday, June 26, 2012

Tuan yang Suka Menuding


Dari semua makhluk di kebun buah, si Burung Hantu-lah yang paling bijaksana dan paling punya banyak cerita. Walau pun ia selalu tampak mengantuk di siang hari, namun ia sangat hidup di malam hari.
Burung Hantu terbang ke kota-kota di malam hari, mengamati jati diri manusia setelah mereka melepas topeng pencitraan yang mereka pakai di siang hari. Di malam hari itu lah ia mengumpulkan banyak cerita kebijaksanaan untuk ia ceritakan pada anak-anak kurcaci, di sore hari setelah ia bangun tidur siang.

Di bawah ini adalah ceritanya yang sangat penting, yang ia ceritakan pada anak-anak kurcaci yang sudah mandi dan berkumpul di bawah pohon cerinya.
***
Adalah seorang pedagang yang sangat suka marah-marah dan sok kuasa. Pedagang itu seorang lelaki tua berperut buncit, tetapi kakinya tak cukup panjang atau lebar untuk membuat bentuknya seimbang. Kaki-kaki malang itu hanya dapat menampung tubuhnya yang tambun dan menyangga kepalanya yang licik dan kadang-kadang mereka bergetar karena beratnya. Rambut pedagang itu lebat tetapi sudah memutih akar-akarnya. Alis dan kumisnya juga lebat, akarnya putih tetapi ujung-ujungnya masih semburat hitam kemerahan.

Pedagang itu tinggal dengan istrinya yang bertubuh kurus dan jangkung. Tubuh itu nampaknya semakin memanjang seiring pajangnya kesabaran yang ia butuhkan untuk menghadapi suaminya itu. Di rumah mereka juga tinggal seorang gadis juru masak yang merangkap pelayan segala macam, dan seorang pria asisten urusan perdagangan yang juga merangkap pelayan segala macam ketika tuannya menghendaki.

Tak bisa dipungkiri jika mereka bertiga; sang istri, si juru masak, dan si asisten; tidak menyukai Tuan mereka karena sifatnya yang cepat naik darah dan nada suaranya yang selalu memerintah dan merendahkan lawan bicaranya. Di tambah lagi, Tuan Pedagang itu suka sekali menuding dan menunjuk-nunjuk orang. Mungkin ibunya dulu tak pernah mengajarinya bahwa menunjuk-nunjuk dan menuding orang itu tidak sopan.

Dengan jari-jarinya yang gemuk, Tuan Pedagang menuding-nuding orang, menunjuk-nunjukkan kesalahannya, dan mengolak-alik kegagalan orang sebagai bahan tertawaan. Lidahnya yang tajam dan mulutnya yang lebar senantiasa menusuk dan menunjuk, menjelaskan dengan diselingi tawa mengejek, apa yang tak bisa dijelaskan jari-jarinya yang tak bisa berkata-kata. Uniknya, Tuan Pedagang selalu menunjuk orang dengan kelima jari tangan kanannya. Ternyata Tuan Pedagang adalah orang yang percaya dengan pepatah, “Ketika kau menunjuk orang dengan telunjukmu, keempat jarimu yang lain menunjuk dirimu sendiri.” Tuan Pedagang memutuskan jalan keluarnya dari pepatah ini ketika ia tetap ingin menuding orang adalah dengan menggunakan kelima jarinya itu. Lama-kelamaan, hal ini menjadi kebiasaan. Tuan Pedagang merasa telah bebas dari keempat jari yang akan menuding dirinya sendiri ketika ia menuding orang lain itu dengan cara mengerahkan kelima jarinya untuk menunjuk orang yang ingin ia hina, di dalam ruangan ataupun di depan umum. Memang, kadang ia melakukan itu untuk memberikan kritik yang membangun, namun lebih sering ia melakukannya hanya untuk hiburan saja.

Orang yang paling jengkel dengan keadaan ini adalah Si Asisten. Ia sungguh bosan dan muak ditunjuk-tunjuk dengan lima jari gemuk, lalu dihinakan di depan rekan-rekan bisnis atau para pelanggan. Gurauan favorit Tuan Pedagang adalah mengenai rambutnya atau kulitnya. Si Asisten adalah pendatang dari timur yang kulitnya gelap dan rambutnya keriting kemerahan, berbeda dengan Tuan Pedagang yang rambutnya halus dan berkulit terang. Agar dirinya tidak tampak terlalu mencolok, Si Asisten menganggarkan sebagian gajinya untuk membeli Eliksir Pemutih Kulit dan Eliksir Pelurus Rambut, yang juga dijual di toko mereka.

Sampai pada tahun keempatbelasnya ia menjabat menjadi asisten pedagang, Tuan Pedagang menghinakan Si Asisten di depan seorang Raja dari Timur Laut yang datang untuk mengekspor beberapa barang. Raja dari Timur Laut itu kulitnya merah liar dan rambutnya ikal awut-awutan. Dengan sopan dan sedikit menjilat Tuan Pedagang menawarkan Eliksir Pemutih Kulit dan Eliksir Pelurus Rambut mereka yang terbaik. “Eliksir-eliksir terbaik yang dapat Anda temui, Paduka. 99 dari 100 orang yang mencoba mendapatkan kulit terang seperti matahari dan rambut lurus halus seperti serat sutra. Hanya saja, mohon maaf, Paduka, mohon jangan melihat apa yang terjadi pada Si Asisten hamba ini. Ia lah si 1 yang tidak beruntung daripada 100 orang yang menggunakan Eliksir tersebut.” Ujarnya sambil menunjuk Si Asisten dengan kelima jari gemuknya.

Raja berkulit merah itu tergelak-gelak geli. Melihat Raja senang dengan gurauannya, Tuan Pedagang melanjutkan kata-kata pedasnya dan menunjuk-nunjuk kekurangan-kekurangan fisik Si Asisten. Dengan jari-jarinya yang gemuk ditariknya Si Asisten yang malang supaya mendekat. Jari-jari itu kemudian menyibakkan rambut yang tumbuh lebat seperti semak-semak itu, menunjukkan betapa keritingnya manusia jenis ini. Dikatakannya pula bahwa dulu Si Asisten ketombean dan rambutnya lebih merah daripada air buah pinang, sebelum Tuan Pedagang menyuruhnya memakai Eliksir Pelurus Rambut. “Lihat, yang begini saja sudah kemajuan pesat, Paduka. Dan lihat pula kulitnya yang sewarna kopi susu pekat ini. Dulu warna kulitnya sehitam kopi tanpa susu, Paduka.”

Raja itu tergelak-gelak geli sampai terbungkuk-bungkuk. Ketika ia dan rombongannya meninggalkan tempat itu, mereka membawa sekereta Eliksir dan meninggalkan sepeti emas serta sebilah pedang bertatahkan permata khas negerinya sebagai bayaran.

Si Asisten tidak ikut senang dengan transaksi yang sukses besar itu. Sebaliknya, dadanya menyimpan dendam yang sangat hebat. Dendam itu makin berkecamuk ketika Tuan Pedagang mengulang gurauan itu di meja makan malam karena mengira istrinya dan Si Juru Masak juga mengira gurauan itu lucu. Kedua perempuan itu hanya sanggup pura-pura tertawa sambil memandang Si Asisten dengan iba ketika Tuan
 Pedagang mengulang cerita tadi siang sambil menghinakan Si Asisten.

Seusai makan malam, Si Juru Masak membereskan meja dan mencuci piring sementara sang istri masuk ke ruang kerja untuk membukukan transaksi besar tadi siang itu. Tuan Pedagang masuk ke kamarnya dan naik ke ranjang dengan perasaan lelah tetapi puas. Tak seberapa lama kemudian, Si Asisten yang sedang gelap mata dan dirubung dendam itu masuk ke dalam kamar. Tuan Pedagang telah terlelap dan sedang bermimpi indah ketika Si Asisten meraih pedang bertatahkan permata dari pajangannya di dinding. Si Asisten lalu menebas kelima jari gemuk yang telah mengoyak harga dirinya itu dengan pedang.

Jeritan Tuan Pedagang terdengar sampai seluruh penjuru desa. Istrinya dan pelayannya tergopoh-gopoh membantunya, sedangkan aparat desa berdatangan dan menangkap Si Asisten. Si Asisten turut dengan patuh.

“Biar kutebas jari-jarimu yang keji itu, Tuan, agar jiwamu tak ikut masuk ke neraka terseret oleh dosa-dosa mereka!” begitu ucapan terakhirnya pada majikannya sebelum aparat desa menjebloskannya ke dalam penjara.
 

Di pengadilan, Si Asisten mengakui kesalahannya dan menerima hukumannya dengan ikhlas. Hakim memutuskan menghukum orang berbahaya ini dengan menenggelamkannya ke dalam danau. Si Asisten berdoa sebelum ditenggelamkan, “Semoga jiwaku direngkuh oleh Tuhan, dan jikalau aku dikembalikan ke dunia, biarlah aku menjadi orang berkulit terang berambut lurus tanpa jari-jemari jahat untuk menghinakan orang.”

Dan tenggelamlah ia di kedalaman danau.

Sementara itu, Tuan Pedagang sembuh dengan cepat dalam perawatan istrinya dan Si Juru Masak. Ia telah kehilangan jemari tangan kanan, dan ia sekarang harus mengajari jemari tangan kirinya keahlian jemari tangan kanan, seperti menulis, menusuk makanan dengan garpu, dan menghitung dengan kalkulator kayu. Kelima jemari itu terlalu sibuk untuk belajar menuding dan menunjuk, tetapi Tuan Pedagang tak kurang akal. Ia menggunakan dagunya untuk menunjuk dan menuding orang. Lagipula ternyata dagu dan mulut letaknya lebih dekat jadi mereka lebih mudah bekerja sama. Sindiran-sindirannya menjadi lebih tajam dan ucapan-ucapannya menjadi lebih kasar. Dihinakannya istrinya yang setia dan Si Juru Masak yang telah meracikkannya makanan bergizi supaya ia cepat sembuh.

Si Juru Masak rupanya lebih pendek sabar dibandingkan istri Tuan Pedagang. Pada waktu itu telah setahun setelah jemari Tuan Pedagang ditebas dan sekarang ia telah sembuh. Tuan Hakim datang berkunjung untuk makan malam sambil menyelesaikan urusan administrasi kasus setahun yang lalu itu. Si Juru Masak diharuskan memasak masakan yang mewah untuk menyambut Tuan Hakim. Ia juga harus mebukakan pintu ketika Tuan Hakim tiba, menyimpan sepatu dan mantelnya, dan melayani mereka makan.

Tuan Hakim mengetuk dengan sopan ketika ia tiba. Si Juru Masak membukakan pintu dengan sopan pula dan menyimpankan sepatu dan mantel Tuan Hakim. “Puan, Tuan Hakim sudah datang,”ujarnya sambil mengantar Tuan Hakim ke kamar makan. Sang Puan yang sedang mengatur piring mentega supaya terlihat lebih cantik menyilakan Tuan Hakim duduk di sisi meja di sebelah Tuan Pedagang, yang sedang menunjuk-nunjuk dengan dagunya makanan apa saja yang ia ingin makan.

Acara makan segera berlangsung dengan ceria. Sang Puan menaruh makanan banyak-banyak di piring setiap orang. Si Juru Masak berkeliling menambah anggur di cawan mereka ketika telah habis. Lama-kelamaan, pembicaraan menjurus pada Si Asisten yang telah menebas jemari Tuan Pedagang setahun yang lalu.

“Sayang sekali, anak baik sesungguhnya, dia itu,” kata Tuan Pedagang. “Tapi tentu saja kita kan tidak tahu apa yang ada dalam otaknya. Ternyata dia itu gila. Untung bagimu kan, eh, Juru Masak?”

Si Juru Masak yang sedang menuang anggur di cawan Sang Puan terkejut. “Maaf, Tuan.” Katanya. “Apa maksud Tuan?”

“Untung bagimu rupanya Si Asisten menunjukkan belangnya bahwa dia itu ternyata gila sebelum kalian melangsungkan rencana kawin lari kalian itu, yang pasti akan sangat memalukan.”

“Apa maksud Tuan? Saya tidak mengerti.”kata Si Juru Masak.


“Oh ya, Tuan Hakim,”kata Tuan Pedagang, dagunya meruncing menunjuk Si Juru Masak. “Si Juru Masak bodoh ini telah yakin Si Asisten itu dulu mencintainya, aku tahu mereka pacaran diam-diam. Di kebun, di padang rumput, di belakang lumbung. Kalian pacaran diam-diam dan si gadis bodoh ini telah termakan rayuan orang keriting gila itu. Aku tahu mereka akan menikah dan pergi meninggalkan negeri ini. Oh aku tahu. Tapi kemudian si gila itu malah menebas jari-jariku, dan meninggalkan si bodoh ini tanpa perasaan. Ha ha ha ha…” Tuan Pedagang tertawa terbahak-bahak. “Tambah anggurnya, Bodoh! Ha ha ha ha…”

Pipi Si Juru Masak bersemu merah sekali. Yang dikatakan Tuan Pedagang itu tentu saja benar, tetapi ia simpan rapat-rapat. Ia tak pernah sedikitpun meneteskan air mata ataupun mengeluh setelah kekasihnya meninggal dihukum tenggelam. Dendam pun berkecamuk di hatinya, sama seperti waktu itu di hati Si Asisten. Dengan galau ia melanjutkan melayani tuan-tuan dan puannya. Tak sepatah kata pun ia ucapkan untuk membalas.

Malam itu, Tuan Hakim yang baik pulang setelah berkata pada Si Juru Masak ketika ia menyerahkan mantel dan sepatunya, “Jangan masukkan ke dalam hati ya, Anakku. Orang yang sakit dan cacat seperti itu memang emosional sekali.” Si Juru Masak hanya menjawab “Ya, Tuan. Hati-hati di jalan, Tuan.” sementara batinnya masih perih karena ucapan jahat majikannya tadi.

Setelah meja dibereskan, Sang Puan masuk ke ruang kerja untuk mengarsipkan dokumen-dokumen kasus yang tadi diserahkan Tuan Hakim setelah makan malam. Tuan Pedagang masuk ke dalam kamar. Si Juru Masak mencuci piring. Tetapi ia mencuci piringnya cepat sekali, dan ia lap pula piring-piring itu dengan kecepatan kilat. Setelah itu, ia mengambil pisaunya yang paling besar untuk memotong daging. Ia mengendap-endap masuk ke dalam kamar Tuan Pedagang yang telah terlelap. Ditebasnyalah dagu Tuan Pedagang dengan pisau daging itu.

Tuan Pedagang menjerit sejadi-jadinya. Sang Puan tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar dan membantu suaminya yang sedang berdarah-darah itu. Dalam sekejap saja, aparat desa termasuk Tuan Hakim yang waktu itu masih dalam perjalanan pulang tiba di rumah Tuan Pedagang. Mereka menangkap Si Juru Masak dan menejbloskannya dalam penjara.



Tuan Hakim sendiri menjadi saksi dalam kasus ini, karena ia menyaksikan betapa kejamnya dagu yang telah tertebas itu mengulik-ulik kisah cinta memalukan Si Juru Masak. Ia tak tega menghukum gadis yang sebenarnya baik itu. Tetapi masyarakat tidak ingin ada tukang masak jahat yang membawa-bawa pisau daging untuk menebas dagu orang sembarangan. Maka mereka menghukumnya dengan memasukkannya ke dalam tungku api.
“Kutebas dagunya agar jangan jiwanya terseret ke neraka karena kejahatan dagu itu,”jawab Si Juru Masak. “Namun kurasa sekarang aku akan jatuh ke neraka karena dosa hati dan kedua tanganku. Semoga Tuhan mengampuni jiwaku!”

Dan terbakarlah ia di dalam tungku api.


Tuan Hakim terkoyak perasaannya karena ia tak dapat berbuat apa-apa untuk gadis itu. Maka ia menjual semua miliknya dan mengajak keluarganya pindah ke negeri yang jauh, di mana orang-orang sopan pada satu sama lain.

Kini tinggal Sang Puan dan Tuan Pedagang di rumah mereka. Seperti yang dapat diduga, Tuan Pedagang tidak menghilangkan kebiasaan menuding dan menunjuknya yang menyebalkan itu. Mulutnya juga tetap tajam dan durjana membalikkan apa-apa yang jelek dari orang lain. Kini setelah ia kehilangan jemari dan dagunya untuk menunjuk-nunjuk, ia menggunakan kedua matanya untuk menunjuk. Ditemukannya bahwa ternyata bola mata adalah alat yang sangat berguna untuk menunjuk dan menuding, melirik dan membolak-balik kesalahan, kegagalan, dan kecacatan orang lain. Ternyata bola mata dapat berkilat-kilat jahat dan dapat menyipit tajam dan dapat pula mengedip nakal untuk menekankan kesan pada gurauan-gurauannya yang kejam dan kritik-kritiknya yang keji.

Betapa hebatnya Sang Puan, tubuhnya sampai melar begitu jangkung karena panjangnya sabarnya, dan tubuhnya menjadi semakin ramping karena banyaknya tugas yang harus ia kerjakan. Kini ia juga adalah asisten pedagang sekaligus juru masak bagi rumah tangga itu. Bahkan, kini ia juga menjadi Puan Pedagang, menggantikan Tuan Pedagang yang telah kehilangan jari-jari dan dagunya yang kini hanya duduk di balik meja kasir di muka toko. Sang Puan menggantikannya dalam hal menawarkan dan menjelaskan fungsi-fungsi barang, tawar-menawar harga, dan berkorespondensi dengan rekan-rekan bisnis di seluruh dunia.

Tuan Pedagang yang duduk-duduk saja menerima uang dan memberikan kembalian kerap kali melontarkan kritik pedas atau gurauan menyebalkan ke ujung ruangan di mana istrinya sedang melayani pembeli. Matanya mengikuti gerak-gerik istrinya ke mana-mana. Ketika Tuan Pedagang ingin istrinya pergi ke sana, ia berteriak dan menunjuk ke sana dengan matanya. Ketika Tuan Pedagang ingin istrinya ke sini, ia berteriak dan menunjuk ke sini dengan matanya. Lama-kelamaan para pelanggan menjadi muak dengan sikap Tuan
 Pedagang pada istrinya. Tuan Pedagang itu sangat besar mulut dan sering mengumbar kelemahan istrinya di depan umum. Mereka tidak tega melihat seorang istri yang telah tumbuh begitu jangkung karena panjangnya kesetiaannya dihinakan di depan mereka. Akhirnya, tak seorangpun datang ke toko mereka. Para pelanggan memilih pergi ke tempat lain yang mungkin lebih sempit dan tidak mewah tetapi pemiliknya sopan dan ramah.

Di antara para pelanggan yang pergi itu, ada seorang pelanggan yang tetap setia datang, seorang gadis kecil berpipi merah jambu. Ia datang setiap hari untuk membeli sebungkus permen jahe seharga setengah perak. Setengah perak adalah uang sakunya untuk sehari, dan ia belanjakan setengah perak itu untuk permen jahe kesukaannya. Ia selalu datang ke tempat itu karena di situlah satu-satunya yang menjual permen jahe yang rasanya pas di lidahnya. Sungguh disayangkan, pelanggan yang tinggal satu-satunya itu pun menjadi incaran cecar mata tukang tuding Tuan Pedagang. Mungkin karena tidak ada lagi orang lain untuk ditunjuk dan dituding, maka ia lampiaskan nafsu menunjuk dan menudingnya pada seorang gadis kecil takbercela yang datang padanya untuk membeli sebungkus permen jahe dengan uang setengah perak.

Tudingan, cecaran, dan hinaannya sangatlah keji untuk diucapkan kepada seorang gadis kecil sehingga takpantaslah untuk ditulis. Pokoknya, pada hari itu si gadis menangis tersedu-sedu karena hinaan Tuan Pedagang. Sementara Tuan Pedagang tertawa terbahak-bahak sampai perut buncitnya terguncang-guncang di belakang meja kasir. Anak kecil itu menaruh uang setengah peraknya di meja Tuan Pedagang dan mengambil permen jahenya sambil menangis.

Sang Puan yang dari tadi berdiri mengawasi dari sudut ruangan pun menjadi jatuh iba pada anak kecil itu. Sementara Tuan Pedagang masih tergelak-gelak sampai matanya terpejam karena tawanya dan air matanya bercucuran karena gelinya, Sang Puan meraih toples besar berisi permen jahe dan mengejar si gadis kecil itu. Di serahkannya toples penuh permen jahe itu pada si anak gadis sambil meminta maaf atas kelancangan suaminya. Gadis kecil itu menerima toples jahe itu sambil masih tersedu-sedu lalu berterimakasih pada perempuan baik hati itu.

Sang Puan pun kembali ke dalam tokonya yang sepi itu, mengambil pensil dari atas buku neracanya, dan berjalan ke meja kasir. “Tuan, lihatlah saya,”ujarnya pada Tuan Pedagang yang masih terbahak itu. Tuan Pedagang, masih menyengir geli, membuka mata menatap istrinya. Sang Puan pun segera menancapkan pensil tersebut ke dalam kedua mata Tuan Pedagang yang masih berkilat-kilat karena kegelian.


Tuan Pedagang segera berteriak sejadi-jadinya. Tetapi Sang Puan segera meraih kain pembebat dari rak pajangnya dan membebatkannya ke mulut Tuan Pedagang yang keji itu. Kini Tuan Pedagang tak lagi dapat melihat, berceloteh, maupun menunjuk-nunjuk.

Aparat desa segera datang untuk melihat keributan itu dan segeralah mereka menangkap Sang Puan yang baik hati dan panjang sabar itu. Sang Puan ikut dengan menurut. Kasihan Tuan Pedagang, walaupun aparat desa menangkap pelaku penusuk matanya, tak seorang pun di desa itu yang menolong atau pun merawat Tuan Pedagang, melepaskan bebatan mulutnya, atau pun memapahnya keluar dari tokonya yang sepi.

Masyarakat memutuskan Sang Puan berbahaya karena ia terbukti mampu menusuk mata orang-orang tanpa ampun dan bahkan membebat mulut korbannya supaya jangan berteriak. Mereka memutuskan hukuman minum racun adalah yang paling tepat. Sang Puan tidak berbicara apa pun di depan umum sebelum ia meminum racunnya. Mungkin ia berdoa dalam hati, dan rasa-rasanya berdoa di dalam hati memang lah yang paling tepat.

Dan tewaslah Sang Puan yang baik hati dan panjang sabar itu karena minum racun.
Sementara itu, Tuan Pedagang yang kini hanya punya lima jari tangan kiri, tak punya dagu, matanya buta, dan mulutnya terbebat kain, berhasil merangkak keluar tokonya yang sepi itu. Ia tinggal di teras tokonya dan membisu sepanjang sisa hidupnya. Ia tidak melatih sisa anggota tubuhnya yang lain untuk menuding dan menunjuk. Masyarakat tidak membuka bebatan kain di mulutnya. Mereka rasa itu yang terbaik. Tuan Pedagang hidup dari belas kasihan orang lewat yang melemparkan makanan dan sedikit perak. Masyarakat kini menyebutnya Si Pengemis.



Gisa, Yogyakarta, 3 Agustus 2011





***

"Ceritanya seram sekali,"kata Pipo yang masih terbelalak ngeri. Bedak yang ia pakai sehabis mandi jadi cemong-cemong karena keringat dingin.
"Tapi aku suka sekali!"komentar Dodo, si gemuk yang pura-pura kekar, sukanya membuat pedang-pedangan dari jerami untuk menggoda teman-temannya.
"Apakah kau akan mencari cerita-cerita lagi, Burung Hantu?"tanya Lila dan Fusia yang manis, penakut, tapi sebenarnya suka sekali mendengar cerita-cerita seram.
"Mungkin,"kata si Burung Hantu. Ia menyisir bulu-bulu sayapnya, bersiap-siap terbang jauh ke kota yang lain. Mencari cerita-cerita tersembunyi untuk diceritakan kembali.
Ketika matahari tenggelam, anak-anak kurcaci berombongan kembali ke bawah pohon cemara raksasa. Si Burung Hantu terbang melintasi malam di bawah cahaya bulan yang keperakan.

No comments:

Post a Comment