Dari semua makhluk di kebun buah, si Burung Hantu-lah yang paling bijaksana dan paling punya banyak cerita. Walau pun ia selalu tampak mengantuk di siang hari, namun ia sangat hidup di malam hari.
Burung Hantu terbang ke kota-kota di malam hari, mengamati jati diri manusia setelah mereka melepas topeng pencitraan yang mereka pakai di siang hari. Di malam hari itu lah ia mengumpulkan banyak cerita kebijaksanaan untuk ia ceritakan pada anak-anak kurcaci, di sore hari setelah ia bangun tidur siang.
Di bawah ini adalah ceritanya yang sangat penting, yang ia ceritakan pada anak-anak kurcaci yang sudah mandi dan berkumpul di bawah pohon cerinya.
***
Adalah seorang pedagang yang sangat suka
marah-marah dan sok kuasa. Pedagang itu seorang lelaki tua berperut
buncit, tetapi kakinya tak cukup panjang atau lebar untuk membuat
bentuknya seimbang. Kaki-kaki malang itu hanya dapat menampung tubuhnya
yang tambun dan menyangga kepalanya yang licik dan kadang-kadang mereka
bergetar karena beratnya. Rambut pedagang itu lebat tetapi sudah memutih
akar-akarnya. Alis dan kumisnya juga lebat, akarnya putih tetapi
ujung-ujungnya masih semburat hitam kemerahan.
Pedagang
itu tinggal dengan istrinya yang bertubuh kurus dan jangkung. Tubuh itu
nampaknya semakin memanjang seiring pajangnya kesabaran yang ia
butuhkan untuk menghadapi suaminya itu. Di rumah mereka juga tinggal
seorang gadis juru masak yang merangkap pelayan segala macam, dan
seorang pria asisten urusan perdagangan yang juga merangkap pelayan
segala macam ketika tuannya menghendaki.
Tak
bisa dipungkiri jika mereka bertiga; sang istri, si juru masak, dan si
asisten; tidak menyukai Tuan mereka karena sifatnya yang cepat naik
darah dan nada suaranya yang selalu memerintah dan merendahkan lawan
bicaranya. Di tambah lagi, Tuan Pedagang itu suka sekali menuding dan
menunjuk-nunjuk orang. Mungkin ibunya dulu tak pernah mengajarinya bahwa
menunjuk-nunjuk dan menuding orang itu tidak sopan.
Dengan
jari-jarinya yang gemuk, Tuan Pedagang menuding-nuding orang,
menunjuk-nunjukkan kesalahannya, dan mengolak-alik kegagalan orang
sebagai bahan tertawaan. Lidahnya yang tajam dan mulutnya yang lebar
senantiasa menusuk dan menunjuk, menjelaskan dengan diselingi tawa
mengejek, apa yang tak bisa dijelaskan jari-jarinya yang tak bisa
berkata-kata. Uniknya, Tuan Pedagang selalu menunjuk orang dengan kelima
jari tangan kanannya. Ternyata Tuan Pedagang adalah orang yang percaya
dengan pepatah, “Ketika kau menunjuk orang dengan telunjukmu, keempat
jarimu yang lain menunjuk dirimu sendiri.” Tuan Pedagang memutuskan
jalan keluarnya dari pepatah ini ketika ia tetap ingin menuding orang
adalah dengan menggunakan kelima jarinya itu. Lama-kelamaan, hal ini
menjadi kebiasaan. Tuan Pedagang merasa telah bebas dari keempat jari
yang akan menuding dirinya sendiri ketika ia menuding orang lain itu
dengan cara mengerahkan kelima jarinya untuk menunjuk orang yang ingin
ia hina, di dalam ruangan ataupun di depan umum. Memang, kadang ia
melakukan itu untuk memberikan kritik yang membangun, namun lebih sering
ia melakukannya hanya untuk hiburan saja.
Orang
yang paling jengkel dengan keadaan ini adalah Si Asisten. Ia sungguh
bosan dan muak ditunjuk-tunjuk dengan lima jari gemuk, lalu dihinakan di
depan rekan-rekan bisnis atau para pelanggan. Gurauan favorit Tuan
Pedagang adalah mengenai rambutnya atau kulitnya. Si Asisten adalah
pendatang dari timur yang kulitnya gelap dan rambutnya keriting
kemerahan, berbeda dengan Tuan Pedagang yang rambutnya halus dan
berkulit terang. Agar dirinya tidak tampak terlalu mencolok, Si Asisten
menganggarkan sebagian gajinya untuk membeli Eliksir Pemutih Kulit dan
Eliksir Pelurus Rambut, yang juga dijual di toko mereka.
Sampai
pada tahun keempatbelasnya ia menjabat menjadi asisten pedagang, Tuan
Pedagang menghinakan Si Asisten di depan seorang Raja dari Timur Laut
yang datang untuk mengekspor beberapa barang. Raja dari Timur Laut itu
kulitnya merah liar dan rambutnya ikal awut-awutan. Dengan sopan dan
sedikit menjilat Tuan Pedagang menawarkan Eliksir Pemutih Kulit dan
Eliksir Pelurus Rambut mereka yang terbaik. “Eliksir-eliksir terbaik
yang dapat Anda temui, Paduka. 99 dari 100 orang yang mencoba
mendapatkan kulit terang seperti matahari dan rambut lurus halus seperti
serat sutra. Hanya saja, mohon maaf, Paduka, mohon jangan melihat apa
yang terjadi pada Si Asisten hamba ini. Ia lah si 1 yang tidak beruntung
daripada 100 orang yang menggunakan Eliksir tersebut.” Ujarnya sambil
menunjuk Si Asisten dengan kelima jari gemuknya.
Raja
berkulit merah itu tergelak-gelak geli. Melihat Raja senang dengan
gurauannya, Tuan Pedagang melanjutkan kata-kata pedasnya dan
menunjuk-nunjuk kekurangan-kekurangan fisik Si Asisten. Dengan
jari-jarinya yang gemuk ditariknya Si Asisten yang malang supaya
mendekat. Jari-jari itu kemudian menyibakkan rambut yang tumbuh lebat
seperti semak-semak itu, menunjukkan betapa keritingnya manusia jenis
ini. Dikatakannya pula bahwa dulu Si Asisten ketombean dan rambutnya
lebih merah daripada air buah pinang, sebelum Tuan Pedagang menyuruhnya
memakai Eliksir Pelurus Rambut. “Lihat, yang begini saja sudah kemajuan
pesat, Paduka. Dan lihat pula kulitnya yang sewarna kopi susu pekat ini.
Dulu warna kulitnya sehitam kopi tanpa susu, Paduka.”
Raja
itu tergelak-gelak geli sampai terbungkuk-bungkuk. Ketika ia dan
rombongannya meninggalkan tempat itu, mereka membawa sekereta Eliksir
dan meninggalkan sepeti emas serta sebilah pedang bertatahkan permata
khas negerinya sebagai bayaran.
Si Asisten
tidak ikut senang dengan transaksi yang sukses besar itu. Sebaliknya,
dadanya menyimpan dendam yang sangat hebat. Dendam itu makin berkecamuk
ketika Tuan Pedagang mengulang gurauan itu di meja makan malam karena
mengira istrinya dan Si Juru Masak juga mengira gurauan itu lucu. Kedua
perempuan itu hanya sanggup pura-pura tertawa sambil memandang Si
Asisten dengan iba ketika Tuan
Pedagang mengulang cerita tadi siang
sambil menghinakan Si Asisten.
Seusai makan
malam, Si Juru Masak membereskan meja dan mencuci piring sementara sang
istri masuk ke ruang kerja untuk membukukan transaksi besar tadi siang
itu. Tuan Pedagang masuk ke kamarnya dan naik ke ranjang dengan perasaan
lelah tetapi puas. Tak seberapa lama kemudian, Si Asisten yang sedang
gelap mata dan dirubung dendam itu masuk ke dalam kamar. Tuan Pedagang
telah terlelap dan sedang bermimpi indah ketika Si Asisten meraih pedang
bertatahkan permata dari pajangannya di dinding. Si Asisten lalu
menebas kelima jari gemuk yang telah mengoyak harga dirinya itu dengan
pedang.
Jeritan Tuan Pedagang terdengar
sampai seluruh penjuru desa. Istrinya dan pelayannya tergopoh-gopoh
membantunya, sedangkan aparat desa berdatangan dan menangkap Si Asisten.
Si Asisten turut dengan patuh.
“Biar kutebas
jari-jarimu yang keji itu, Tuan, agar jiwamu tak ikut masuk ke neraka
terseret oleh dosa-dosa mereka!” begitu ucapan terakhirnya pada
majikannya sebelum aparat desa menjebloskannya ke dalam penjara.
Di
pengadilan, Si Asisten mengakui kesalahannya dan menerima hukumannya
dengan ikhlas. Hakim memutuskan menghukum orang berbahaya ini dengan
menenggelamkannya ke dalam danau. Si Asisten berdoa sebelum
ditenggelamkan, “Semoga jiwaku direngkuh oleh Tuhan, dan jikalau aku
dikembalikan ke dunia, biarlah aku menjadi orang berkulit terang
berambut lurus tanpa jari-jemari jahat untuk menghinakan orang.”
Dan tenggelamlah ia di kedalaman danau.
Sementara
itu, Tuan Pedagang sembuh dengan cepat dalam perawatan istrinya dan Si
Juru Masak. Ia telah kehilangan jemari tangan kanan, dan ia sekarang
harus mengajari jemari tangan kirinya keahlian jemari tangan kanan,
seperti menulis, menusuk makanan dengan garpu, dan menghitung dengan
kalkulator kayu. Kelima jemari itu terlalu sibuk untuk belajar menuding
dan menunjuk, tetapi Tuan Pedagang tak kurang akal. Ia menggunakan
dagunya untuk menunjuk dan menuding orang. Lagipula ternyata dagu dan
mulut letaknya lebih dekat jadi mereka lebih mudah bekerja sama.
Sindiran-sindirannya menjadi lebih tajam dan ucapan-ucapannya menjadi
lebih kasar. Dihinakannya istrinya yang setia dan Si Juru Masak yang
telah meracikkannya makanan bergizi supaya ia cepat sembuh.
Si
Juru Masak rupanya lebih pendek sabar dibandingkan istri Tuan Pedagang.
Pada waktu itu telah setahun setelah jemari Tuan Pedagang ditebas dan
sekarang ia telah sembuh. Tuan Hakim datang berkunjung untuk makan malam
sambil menyelesaikan urusan administrasi kasus setahun yang lalu itu.
Si Juru Masak diharuskan memasak masakan yang mewah untuk menyambut Tuan
Hakim. Ia juga harus mebukakan pintu ketika Tuan Hakim tiba, menyimpan
sepatu dan mantelnya, dan melayani mereka makan.
Tuan
Hakim mengetuk dengan sopan ketika ia tiba. Si Juru Masak membukakan
pintu dengan sopan pula dan menyimpankan sepatu dan mantel Tuan Hakim.
“Puan, Tuan Hakim sudah datang,”ujarnya sambil mengantar Tuan Hakim ke
kamar makan. Sang Puan yang sedang mengatur piring mentega supaya
terlihat lebih cantik menyilakan Tuan Hakim duduk di sisi meja di
sebelah Tuan Pedagang, yang sedang menunjuk-nunjuk dengan dagunya
makanan apa saja yang ia ingin makan.
Acara
makan segera berlangsung dengan ceria. Sang Puan menaruh makanan
banyak-banyak di piring setiap orang. Si Juru Masak berkeliling menambah
anggur di cawan mereka ketika telah habis. Lama-kelamaan, pembicaraan
menjurus pada Si Asisten yang telah menebas jemari Tuan Pedagang setahun
yang lalu.
“Sayang sekali, anak baik
sesungguhnya, dia itu,” kata Tuan Pedagang. “Tapi tentu saja kita kan
tidak tahu apa yang ada dalam otaknya. Ternyata dia itu gila. Untung
bagimu kan, eh, Juru Masak?”
Si Juru Masak yang sedang menuang anggur di cawan Sang Puan terkejut. “Maaf, Tuan.” Katanya. “Apa maksud Tuan?”
“Untung
bagimu rupanya Si Asisten menunjukkan belangnya bahwa dia itu ternyata
gila sebelum kalian melangsungkan rencana kawin lari kalian itu, yang
pasti akan sangat memalukan.”
“Apa maksud Tuan? Saya tidak mengerti.”kata Si Juru Masak.
“Oh
ya, Tuan Hakim,”kata Tuan Pedagang, dagunya meruncing menunjuk Si Juru
Masak. “Si Juru Masak bodoh ini telah yakin Si Asisten itu dulu
mencintainya, aku tahu mereka pacaran diam-diam. Di kebun, di padang
rumput, di belakang lumbung. Kalian pacaran diam-diam dan si gadis bodoh
ini telah termakan rayuan orang keriting gila itu. Aku tahu mereka akan
menikah dan pergi meninggalkan negeri ini. Oh aku tahu. Tapi kemudian
si gila itu malah menebas jari-jariku, dan meninggalkan si bodoh ini
tanpa perasaan. Ha ha ha ha…” Tuan Pedagang tertawa terbahak-bahak.
“Tambah anggurnya, Bodoh! Ha ha ha ha…”
Pipi
Si Juru Masak bersemu merah sekali. Yang dikatakan Tuan Pedagang itu
tentu saja benar, tetapi ia simpan rapat-rapat. Ia tak pernah sedikitpun
meneteskan air mata ataupun mengeluh setelah kekasihnya meninggal
dihukum tenggelam. Dendam pun berkecamuk di hatinya, sama seperti waktu
itu di hati Si Asisten. Dengan galau ia melanjutkan melayani tuan-tuan
dan puannya. Tak sepatah kata pun ia ucapkan untuk membalas.
Malam
itu, Tuan Hakim yang baik pulang setelah berkata pada Si Juru Masak
ketika ia menyerahkan mantel dan sepatunya, “Jangan masukkan ke dalam
hati ya, Anakku. Orang yang sakit dan cacat seperti itu memang emosional
sekali.” Si Juru Masak hanya menjawab “Ya, Tuan. Hati-hati di jalan,
Tuan.” sementara batinnya masih perih karena ucapan jahat majikannya
tadi.
Setelah meja dibereskan, Sang Puan masuk
ke ruang kerja untuk mengarsipkan dokumen-dokumen kasus yang tadi
diserahkan Tuan Hakim setelah makan malam. Tuan Pedagang masuk ke dalam
kamar. Si Juru Masak mencuci piring. Tetapi ia mencuci piringnya cepat
sekali, dan ia lap pula piring-piring itu dengan kecepatan kilat.
Setelah itu, ia mengambil pisaunya yang paling besar untuk memotong
daging. Ia mengendap-endap masuk ke dalam kamar Tuan Pedagang yang telah
terlelap. Ditebasnyalah dagu Tuan Pedagang dengan pisau daging itu.
Tuan
Pedagang menjerit sejadi-jadinya. Sang Puan tergopoh-gopoh masuk ke
dalam kamar dan membantu suaminya yang sedang berdarah-darah itu. Dalam
sekejap saja, aparat desa termasuk Tuan Hakim yang waktu itu masih dalam
perjalanan pulang tiba di rumah Tuan Pedagang. Mereka menangkap Si Juru
Masak dan menejbloskannya dalam penjara.
Tuan
Hakim sendiri menjadi saksi dalam kasus ini, karena ia menyaksikan
betapa kejamnya dagu yang telah tertebas itu mengulik-ulik kisah cinta
memalukan Si Juru Masak. Ia tak tega menghukum gadis yang sebenarnya
baik itu. Tetapi masyarakat tidak ingin ada tukang masak jahat yang
membawa-bawa pisau daging untuk menebas dagu orang sembarangan. Maka
mereka menghukumnya dengan memasukkannya ke dalam tungku api.
“Kutebas
dagunya agar jangan jiwanya terseret ke neraka karena kejahatan dagu
itu,”jawab Si Juru Masak. “Namun kurasa sekarang aku akan jatuh ke
neraka karena dosa hati dan kedua tanganku. Semoga Tuhan mengampuni
jiwaku!”
Dan terbakarlah ia di dalam tungku api.
Tuan
Hakim terkoyak perasaannya karena ia tak dapat berbuat apa-apa untuk
gadis itu. Maka ia menjual semua miliknya dan mengajak keluarganya
pindah ke negeri yang jauh, di mana orang-orang sopan pada satu sama
lain.
Kini tinggal Sang Puan dan Tuan Pedagang
di rumah mereka. Seperti yang dapat diduga, Tuan Pedagang tidak
menghilangkan kebiasaan menuding dan menunjuknya yang menyebalkan itu.
Mulutnya juga tetap tajam dan durjana membalikkan apa-apa yang jelek
dari orang lain. Kini setelah ia kehilangan jemari dan dagunya untuk
menunjuk-nunjuk, ia menggunakan kedua matanya untuk menunjuk.
Ditemukannya bahwa ternyata bola mata adalah alat yang sangat berguna
untuk menunjuk dan menuding, melirik dan membolak-balik kesalahan,
kegagalan, dan kecacatan orang lain. Ternyata bola mata dapat
berkilat-kilat jahat dan dapat menyipit tajam dan dapat pula mengedip
nakal untuk menekankan kesan pada gurauan-gurauannya yang kejam dan
kritik-kritiknya yang keji.
Betapa hebatnya
Sang Puan, tubuhnya sampai melar begitu jangkung karena panjangnya
sabarnya, dan tubuhnya menjadi semakin ramping karena banyaknya tugas
yang harus ia kerjakan. Kini ia juga adalah asisten pedagang sekaligus
juru masak bagi rumah tangga itu. Bahkan, kini ia juga menjadi Puan
Pedagang, menggantikan Tuan Pedagang yang telah kehilangan jari-jari dan
dagunya yang kini hanya duduk di balik meja kasir di muka toko. Sang
Puan menggantikannya dalam hal menawarkan dan menjelaskan fungsi-fungsi
barang, tawar-menawar harga, dan berkorespondensi dengan rekan-rekan
bisnis di seluruh dunia.
Tuan Pedagang yang
duduk-duduk saja menerima uang dan memberikan kembalian kerap kali
melontarkan kritik pedas atau gurauan menyebalkan ke ujung ruangan di
mana istrinya sedang melayani pembeli. Matanya mengikuti gerak-gerik
istrinya ke mana-mana. Ketika Tuan Pedagang ingin istrinya pergi ke
sana, ia berteriak dan menunjuk ke sana dengan matanya. Ketika Tuan
Pedagang ingin istrinya ke sini, ia berteriak dan menunjuk ke sini
dengan matanya. Lama-kelamaan para pelanggan menjadi muak dengan sikap
Tuan
Pedagang pada istrinya. Tuan Pedagang itu sangat besar mulut dan
sering mengumbar kelemahan istrinya di depan umum. Mereka tidak tega
melihat seorang istri yang telah tumbuh begitu jangkung karena
panjangnya kesetiaannya dihinakan di depan mereka. Akhirnya, tak
seorangpun datang ke toko mereka. Para pelanggan memilih pergi ke tempat
lain yang mungkin lebih sempit dan tidak mewah tetapi pemiliknya sopan
dan ramah.
Di antara para pelanggan yang pergi
itu, ada seorang pelanggan yang tetap setia datang, seorang gadis kecil
berpipi merah jambu. Ia datang setiap hari untuk membeli sebungkus
permen jahe seharga setengah perak. Setengah perak adalah uang sakunya
untuk sehari, dan ia belanjakan setengah perak itu untuk permen jahe
kesukaannya. Ia selalu datang ke tempat itu karena di situlah
satu-satunya yang menjual permen jahe yang rasanya pas di lidahnya.
Sungguh disayangkan, pelanggan yang tinggal satu-satunya itu pun menjadi
incaran cecar mata tukang tuding Tuan Pedagang. Mungkin karena tidak
ada lagi orang lain untuk ditunjuk dan dituding, maka ia lampiaskan
nafsu menunjuk dan menudingnya pada seorang gadis kecil takbercela yang
datang padanya untuk membeli sebungkus permen jahe dengan uang setengah
perak.
Tudingan, cecaran, dan hinaannya
sangatlah keji untuk diucapkan kepada seorang gadis kecil sehingga
takpantaslah untuk ditulis. Pokoknya, pada hari itu si gadis menangis
tersedu-sedu karena hinaan Tuan Pedagang. Sementara Tuan Pedagang
tertawa terbahak-bahak sampai perut buncitnya terguncang-guncang di
belakang meja kasir. Anak kecil itu menaruh uang setengah peraknya di
meja Tuan Pedagang dan mengambil permen jahenya sambil menangis.
Sang Puan yang dari tadi berdiri mengawasi dari
sudut ruangan pun menjadi jatuh iba pada anak kecil itu. Sementara Tuan
Pedagang masih tergelak-gelak sampai matanya terpejam karena tawanya
dan air matanya bercucuran karena gelinya, Sang Puan meraih toples besar
berisi permen jahe dan mengejar si gadis kecil itu. Di serahkannya
toples penuh permen jahe itu pada si anak gadis sambil meminta maaf atas
kelancangan suaminya. Gadis kecil itu menerima toples jahe itu sambil
masih tersedu-sedu lalu berterimakasih pada perempuan baik hati itu.
Sang
Puan pun kembali ke dalam tokonya yang sepi itu, mengambil pensil dari
atas buku neracanya, dan berjalan ke meja kasir. “Tuan, lihatlah
saya,”ujarnya pada Tuan Pedagang yang masih terbahak itu. Tuan Pedagang,
masih menyengir geli, membuka mata menatap istrinya. Sang Puan pun
segera menancapkan pensil tersebut ke dalam kedua mata Tuan Pedagang
yang masih berkilat-kilat karena kegelian.
Tuan
Pedagang segera berteriak sejadi-jadinya. Tetapi Sang Puan segera
meraih kain pembebat dari rak pajangnya dan membebatkannya ke mulut Tuan
Pedagang yang keji itu. Kini Tuan Pedagang tak lagi dapat melihat,
berceloteh, maupun menunjuk-nunjuk.
Aparat
desa segera datang untuk melihat keributan itu dan segeralah mereka
menangkap Sang Puan yang baik hati dan panjang sabar itu. Sang Puan ikut
dengan menurut. Kasihan Tuan Pedagang, walaupun aparat desa menangkap
pelaku penusuk matanya, tak seorang pun di desa itu yang menolong atau
pun merawat Tuan Pedagang, melepaskan bebatan mulutnya, atau pun
memapahnya keluar dari tokonya yang sepi.
Masyarakat
memutuskan Sang Puan berbahaya karena ia terbukti mampu menusuk mata
orang-orang tanpa ampun dan bahkan membebat mulut korbannya supaya
jangan berteriak. Mereka memutuskan hukuman minum racun adalah yang
paling tepat. Sang Puan tidak berbicara apa pun di depan umum sebelum ia
meminum racunnya. Mungkin ia berdoa dalam hati, dan rasa-rasanya berdoa
di dalam hati memang lah yang paling tepat.
Dan tewaslah Sang Puan yang baik hati dan panjang sabar itu karena minum racun.
Sementara
itu, Tuan Pedagang yang kini hanya punya lima jari tangan kiri, tak
punya dagu, matanya buta, dan mulutnya terbebat kain, berhasil merangkak
keluar tokonya yang sepi itu. Ia tinggal di teras tokonya dan membisu
sepanjang sisa hidupnya. Ia tidak melatih sisa anggota tubuhnya yang
lain untuk menuding dan menunjuk. Masyarakat tidak membuka bebatan kain
di mulutnya. Mereka rasa itu yang terbaik. Tuan Pedagang hidup dari
belas kasihan orang lewat yang melemparkan makanan dan sedikit perak.
Masyarakat kini menyebutnya Si Pengemis.
Gisa, Yogyakarta, 3 Agustus 2011
***
"Ceritanya seram sekali,"kata Pipo yang masih terbelalak ngeri. Bedak yang ia pakai sehabis mandi jadi cemong-cemong karena keringat dingin.
"Tapi aku suka sekali!"komentar Dodo, si gemuk yang pura-pura kekar, sukanya membuat pedang-pedangan dari jerami untuk menggoda teman-temannya.
"Apakah kau akan mencari cerita-cerita lagi, Burung Hantu?"tanya Lila dan Fusia yang manis, penakut, tapi sebenarnya suka sekali mendengar cerita-cerita seram.
"Mungkin,"kata si Burung Hantu. Ia menyisir bulu-bulu sayapnya, bersiap-siap terbang jauh ke kota yang lain. Mencari cerita-cerita tersembunyi untuk diceritakan kembali.
Ketika matahari tenggelam, anak-anak kurcaci berombongan kembali ke bawah pohon cemara raksasa. Si Burung Hantu terbang melintasi malam di bawah cahaya bulan yang keperakan.