Showing posts with label fabel. Show all posts
Showing posts with label fabel. Show all posts

Monday, March 4, 2013

Burung Hantu dan Bebunyian Hutan (The Owl and the Sound of the Woods)


The Wild Orchard Collaboration with Nenkonyan: The Owl and the Sounds of the Woods
Dear hen.. your sound is CACKLING
Dear pig... your sound is SQUEALING
Dear horse... your sound is NEIGHING
Dear goat... your sound is BLEATING
Dear tiger... your sound is ROARING


Dear bird... your sound is TWITTING

Dear duck... your sound is QUACKING

fabel grafik elaborasi onomatopeia binatang,
hasil kolaborasi Gisela Swaragita dan Eka di Workshop Zine MES 56
:)

Sunday, November 25, 2012

Kakek Lebah



Semua lebah di kebun buah rajin bekerja, mengumpulkan memanisan dari berbagai bunga di lahan yang luas itu. Akan tetapi, pagi itu hujan turun begitu lebat sehingga semua kegiatan di hari cerah tak dapat dilakukan.
Si burung hantu tidur nyenyak di suatu rongga di batang pohon beringin. Si babi juga tidur di liangnya di bawah semak-semak berbunga, ditemani rombongan kupu-kupu yang berteduh di balik daun dan bunga. Lebah-lebah pun berkumpul di dalam sarang mereka yang besar, yang tergantung-gantung di dahan pohon nangka. Lebah, seperti semua binatang yang lain, tidak punya hari Minggu atau pun hari libur lainnya. Mereka beristirahat dari pekerjaan mengumpulkan memanisan hanya di hari hujan seperti ini.

Di pagi hari hujan seperti ini, lebah-lebah muda, anak-anak lebah, dan bayi-bayi lebah berkumpul bersama di ruang rekreasi yang luas dan temaram, minum berbagai pilihan madu bunga. Mereka begitu sibuk menghangatkan diri di sehingga mereka sering lupa ada Kakek Lebah yang duduk sendiri di pojok ruangan.
Kakek Lebah adalah lebah sangat tua yang hidupnya telah panjang dan penuh. Wajahnya yang hitam penuh kerut keriput seperti sebutir kurma. Sayapnya sudah hampir kusut dan sudah buram, tidak transparan lagi. Kakek Lebah sudah tidak pernah terbang jauh-jauh keliling kebun buah mengangkuti madu. Bahkan ia lebih sering duduk-duduk di dalam kelopak bunga mangkok, mengunyah-nguyah benang sari sambil mengawasi cucu-cucunya bekerja keras mengangkut cairan-cairan yang lengket dan manis ke dalam sarang.

Biasanya lebah-lebah muda bergiliran mengurusnya di pagi hari, membantunya bangun dari ranjang yang terbuat dari serbuk lilin, menuntunnya ke pintu dan mendudukkannya di kelopak bunga mangkuk untuk berjemur. Kemudian ketika Kakek Lebah sudah terlihat duduk nyaman dan tangannya sudah bisa menjangkau serbuk sari dengan mudah, lebah muda itu akan meninggalkannya untuk bergabung dengan rombongan lebah muda lain, terbang dari satu bunga ke bunga lain dan mengumpulkan cairan lengket yang manis dan harum itu.

Di hari hujan ini Kakek Lebah ini didudukkan di atas bantal yang terbuat dari kelopak-kelopak bunga lavender yang berwarna ungu. Ia menyandarkan kepalanya yang sudah tua di dinding lilin yang hangat. Matanya yang rabun memandang kerumunan cucu-cucunya. Lebah muda yang membantunya duduk tadi telah pergi bergabung dengan teman-temannya. Lebah-lebah muda itu begitu bersemangat… minum madu banyak-banyak… tidak sabar menunggu hari cerah…Kakek Lebah, ketika nama aslinya masih dipakai, juga pernah bergabung dalam kerumunan muda seperti itu. Kalau tidak salah dulu juga ada lebah tua yang dipanggil Kakek Lebah. Lebah tua itu meninggal. Lalu lebah-lebah yang lebih muda pun jadi tua. Satu persatu teman-temannya meninggal, sampai akhirnya ia menjadi lebah paling tua di koloni. Tanpa sadar ia mewarisi panggilan itu, Kakek Lebah.

Lebah-lebah muda itu… mereka begitu sibuk tumbuh besar, sampai lupa bahwa ia semakin hari makin tua pula.

Kakek Lebah menutup matanya. Sayapnya terkulai. Antenanya merosot.

Di suatu tempat di kebun buah, si burung hantu tidur nyenyak di suatu rongga di batang pohon beringin. Si babi juga tidur di liangnya di bawah semak-semak berbunga, ditemani rombongan kupu-kupu yang berteduh di balik daun dan bunga. Di suatu tempat di kebun buah, di antara hujan yang turun dengan derasnya, sekuncup bunga mangkok kecil mekar, membuka kelopaknya lebar-lebar karena rasa penasarannya mengenai dunia yang baru dimasukinya ini.

Thursday, July 5, 2012

Gajah, Kepik, dan Burung Hantu

Suatu hari, adalah seekor gajah yang berteman dengan seekor kepik. Gajah itu ingin menjadi sekecil kepik, jadi ia bisa terbang bebas dari satu bunga wangi ke bunga wangi ke bunga wangi yang lain.

Si Kepik, di sisi lain, ingin jadi sebesar si Gajah, supaya ia bisa mengangkat batang pohon dengan belalainya.

Seekor burung hantu yang berusaha tidur siang dia sebuah cabang pohon ceri di atas mereka menyuruh mereka diam.




The Elephant, The Ladybug, and The Owl



One day, there was an elephant who made friends with a ladybug. The elephant wants to be as tiny as the ladybug, so that he can fly freely from one fragrant flower to another.

The ladybug, on the other hand, wants to be as big as the elephant so that it can lift a tree trunk with its trunk.

An owl who tries to take a nap on a cherry tree branch above them tell them to shut up.



Monday, July 2, 2012

Kisah Sang Dingin

Si Burung Hantu saat ini sedang terbang melayang meninggalkan kebun buah yang sunyi dan indah. Ia menyeberang ke kota kita, ya, kota Anda wahai pembaca. Ia bertengger di dahan pohon terdekat di jendelamu dan mengawasi segala kegiatan rahasiamu yang kaukira tak ada yang melihat.
Saat ini ia sedang mengawasi mereka yang meringkuk kedinginan, ketika tangan-tangan Sang Dingin berkeretakan mengelus pipi mereka yang gemetar.

***

Dingin sekali malam itu, seperti tidak nyata. Angin tidak bertiup tetapi udara yang diam membawa hawa setajam serpihan es yang menembus kulitmu dan menusuk tulangmu. Seluruh bumi diam tak bergerak, tak sehelai daun pun bergetar dalam kebekuan aneh yang telah berlangsung selama beberapa malam. Jengkerik, gangsir, dan binatang berdesir lainnya bersembunyi di celah-celah kayu, terlalu kaku untuk mendesirkan sayap mereka di dinginnya wengi. Burung-burung liar dan unggas-unggas ternak membenamkan kepala mereka ke dalam leher berbulu lembut yang hangat, bertengger di dahan tertinggi dan terdalam pada pohon-pohon berdaun lebat atau mengerut di dalam kandang yang dihangatkan lampu bercahaya kuning lima watt. Kucing-kucing garong dan anjing-anjing peliharaan bergelung rapat, ekor masing-masing menyaput wajah mereka yang berbulu.
Bulan melayang seorang diri di langit yang gelap. Biru gelapnya sepekat tinta. Bintang-bintang tidak terlihat dari permukaan bumi, tertutup kabut tipis dingin yang melapisi angkasa. Cahaya bulan yang keperakan terkalahkan cahaya artifisial lampu-lampu listrik di daerah berpenduduk padat, tetapi menerangi hutan-hutan dan padang-padang rumput, jalan-jalan setapak sepi dan pantai-pantai perawan di seluruh bumi dengan cahayanya yang misterius tetapi agung. Cahaya itu dingin, seperti hawa yang sedang menggantung di udara dan menusuk-nusuk indera peraba semua makhluk yang diterpanya.
Sang Dingin sedang menguasai dunia.
Sang Dingin adalah wanita yang sudah sangat tua, ia tinggal di berbagai tempat di sudut-sudut bumi ini. Dari rahimnya yang senyap lahir glasier-glasier tertua di dunia yang senantiasa beradu dengan Sang Panas untuk menghasilkan air. Sang Dingin menghantui kolong-kolong dunia, tempat yang dihindari makhluk-makhluk hidup berperadaban. Kau bisa tiba-tiba berhadapan muka dengan Sang Dingin di kolong tempat tidurmu sendiri, di loteng yang berangin dan lembab, di gua-gua kelam tempat kawanan kelelawar besemayam, di luar angkasa, dalam sepotong es lilin atau segelas minuman buah, dalam tempayan air mandimu tiap pagi, dan di antara pepohonan kesepian di padang rumput yang sunyi.
Sang Dingin menyukai kegelapan karena cahaya mengundang panas, tetapi Sang Dingin menghormati Bulan tua yang memancarkan cahaya dingin keperakan yang membuat bayangan paling pekat dari benda-benda di bumi. Ketika Bulan sedang purnama, Sang Dingin menyebarkan hawa dinginnya lebih menggila.
Saat-saat ini ketika malam-malam dan dini hari menjadi dingin tak tertahankan, manusia dan makhluk lain yang memiliki naluri mencari Kehangatan dalam segelas minuman jahe, semangkuk makanan berkuah pedas, sepasang kaus kaki, seoles minyak gosok, atau sehelai selimut tebal. Tetapi mereka tetap kedinginan ketika Sang Dingin menyapa mereka dan mengelus sayang pipi mereka tanpa mereka sadari. Makhluk hidup membenci Sang Dingin…
Sang Dingin juga dapat merasuki hati manusia. Wanita tua ini merayap ke dalam pori-pori dan hinggap di dalam hati kekasih-kekasih yang patah, ayah-ayah yang beranak kesialan, dan anak-anak yang berayah kegegagalan. Perasaan dan pikiran mereka pun tersaput kabut beku sehingga mereka menolak penghiburan, percobaan kembali, dan bahkan kehidupan. Sang Dingin menggerogoti hati-hati mereka yang malang hingga hati-hati itu berlubang-lubang oleh keputus-asaan. 

 ***

Si Burung Hantu terbang lagi dari dahan pohon itu, mengikuti Sang Dingin yang terbang berayun di hati-hati keropos manusia.

Thursday, June 28, 2012

The Apple Girl and The Angel




In a shiny morning, The Owl is sleepily perching on a branch of her cherry tree. She is tired of wandering all night to magical places out of the Orchard.

She is in a deep nap when a little girl’s sobbing wakes her up. She opens one of her sleepy eyes and she sees a tiny young gnome girl, her height is not higher than a wide spread hand of an old man. She is crying sadly and rubbing her eyes. She is Lila, a fat short girl with a beautiful face and a pair of shiny green eyes.

But the face is now in a mess and those eyes are now red, and circled with ugly black eye bags.

“What happened to you, Sweetie Pie?” The Owl asks. Though she is terribly sleepy, she has to keep her reputation high among the young gnomes.

Lila is not surprised that she has wakened the Old Kind-hearted Owl up. It’s her intention to tell her burden to The Wise Owl.

“Dodo...hiks...and Dido... hiks... they are cruel. The said that I... I am porky... huhuhuhuuu..”

The Wisest of All Owl has faced many young girls like this before. “Hush now, hush now,” she says. “It is okay. You are not alone. In fact, there are many girls like you. They stop eating wild strawberry cake and cream pudding, but still they are fat... or they think they’re fat.

And she continues, “Once there was a girl who is really like you.”

“Really?” said Lila. “What happened to her?”

“Oh, she’s dead.” The Owl says immediately.
“What?”

“So here is the story...”


***

Adriana is her name. She is fat and beautiful like an apple. But she does not know it. A friend of hers, Dio, is an evil young boy whose mouth only can produce bad words. No good things can be said from his wicked mouth. Therefore, Dio is so fond of teasing Adriana and say bad things about her. Dio only can see her fat body. He cannot see that Adriana is so lovely in her plump posture.



Therefore, Adriana cannot take it anymore. She kills herself by drinking a bowl of yew poison.

Her hope is that she can tell God what happen so that He will punish Dio the most unbearable suffering.

Therefore, the first thing Adriana says to the first angel she meets is “Where is God? I need to talk to Him.”

The Angel says: “There are thousands of people, queuing to talk to God. It is easier to talk to me, who knows I can help you with my limited divinity.”

So Adriana tells the Angel her story of unhappiness. Unpredictably, the Angel laughs.

“Stupid little girl. Why are you sweet but full of hatred? Why do you choose to be lovely but thorny like roses, if you can be true and open yourself like Sunflowers? Anyway, God does not work on hatred. He is peaceful and full of love. But, believe me, He will work for justice.”

And she takes Adriana to a long queue of people who will be sorted to heaven or hell.

In her turn, Adriana enters the room and meets The Judge. The Judge examines her closely from top to toe. A scale in front of Him is moving up and down uncontrollably. And all of the sudden Adriana falls in a vortex that consists of the colors of times and places.

In her ears The Angel whispers, “See, Good is Kind!”

“Where am I? Heaven or Hell?” asks Adriana.

“Well... you can say, both.” The Angel says. “You are human, you are smart, you have reason. You can choose for yourself whether you want to live in Heaven or in Hell. You can choose your own hereafter. Let me tell you a secret: life is the hereafter. God is Kind.” And with that the Angel goes by.

Adriana thinks about the Angel’s words for a loooong time in her new place. The place is warm and comfortable, but it is so dark. Adriana has not understood the Angel’s words yet when it is the time for her to slide again in a vortex of colors. But this trip is a bit wet.

Afterwards, she cries so loud.



Oh! She is reborn!

In the process Adriana changes. She has forgotten her past life and becomes a new person. In fact, she is a boy now and her name is Dio. Dio has forgotten anything about Adriana. He even has forgotten the Angel. But one thing he remember, strangely, that he can choose his own Heaven.

He makes his life as happy as can be. Even when his Daddy is bankrupt, and they have to move to a slummy ugly house, and then his parents divorce, Dio always remembers to be cheerful. He always seeks for happiness from every of his sufferings. He always remembers to be happy and see everything from many angles.

And finally, in a point of his life, Dio meets a lovely chubby girl named Adriana. Dio is so in love with the girl. He does everything for the girl’s happiness, also with words of spirit and joy. Their happiness makes other people happy, so that the world turns to be a better place.

***

“So that’s why, Lila, never be down-hearted. Always be cheerful and choose Heaven for yourself.” Says the Owl.

Lila’s tears have dried. She is now seated on the grass and listening to the story while eating a ripe cherry that has dropped to the ground.

“So... so... actually Dodo and Dido likes me?” she says naively.

The Owl is gone a chapfallen “tsk tsk”.

“Could be yes or no,” she says, “perhaps they just have a real bad day at home.”

“But, Baby, can’t you see? Everyone is One. We are all sharing the same soul. When it comes the time, you will be me and I will be you, do you understand? It is difficult to see everybody else as yourself, but that is the reality. Treat people like how you like to be treated, because they are actually you. And make sure that you and they are in heaven, understand? Now go and do your role of this lifetime with the best you can.”

Lila gets up and feels happier. She strolls back to under the yew tree, and ready to share Heaven.

The Owl goes back on her deep nap.


Yogyakarta, June 28, 2012
 Gisela Swaragita



Gadis Apel dan Malaikat

Pada suatu pagi yang cerah si Burung Hantu sedang terkantuk-kantuk di dahan pohon cerinya. Ia lelah setelah semalaman berpetualang ke negeri-negeri ajaib di seberang Kebun Buah.

Sedang nyenak-nyenyaknya tidur siang, tiba-tiba ia dikejutkan suara isak tangis tertahan. Dibukanya satu matanya yang mengantuk dan dilihatnya seorang anak kurcaci mungil, tak ada sejengkal tinginya, sedang menangis sedih sambil mengucek-kucek matanya. Ternyata si Lila, gadis gemuk pendek, tetapi berwajah cantik dan bermata hijau berkilat-kilat. Namun sekarang wajah itu merat-merot tak karuan dan matanya merah berkantung.

"Ada apa anak manis?"tanya si Burung Hantu. Walau mengantuk ia berusaha menjaga reputasinya di antara kurcaci-kurcaci muda.

Lila tidak tampak terkejut ia telah membangunkan si Burung Hantu yang baik. Memang tujuannya lah untuk menceritakan bebannya kepada Sang Bijaksana Burung Hantu.

"Dodo...hiks...dan Dido...hiks...mereka jahat.. mereka bilang aku...aku gembrot! Hua...hua..."

Yang Bijaksana Burung Hantu sudah sering menghadapi masalah serupa. "Sudah, sudah,"katanya. "Tidak masalah. Kamu tidak sendirian. Malah, ada banyak sekali gadis sepertimu. Mereka sudah berhenti makan kue arbei liat dan puding krim, tapi tetap saja mereka gemuk... atau merasa gemuk."

Lalu lanjutnya, "Dulu ada seorang gadis cilik di Kota yang sangat mirip denganmu."

"Oh ya?"tanya Lila. "Apa yang terjadi padanya?"

"Oh dia mati,"kata si Burung Hantu langsung.

"Hah?"

"Begini ceritanya..."

***

Adriana adalah nama gadis itu. Ia gemuk dan cantik seperti apel, tapi ia tidak tahu. Seorang temannya, Dio, adalah anak laki-laki jahat yang hanya bisa berkata-kata jelek. Tak ada hal bagus yang keluar dari mulutnya.
 Maka Dio senang sekali menjelek-jelekkan Andriana. Dio hanya mampu melihat gemuknya Adriana. Tak mampu ia melihat bahwa Adriana cantik dalam gemuknya.


Maka Adriana pun tak tahan. Ia pun bunuh diri dengan minum racun cemara.

Harapannya, Ia bisa mengadu pada Tuhan dan meminta-Nya menghukum Dio seberat-beratnya.

Maka hal pertama yang ia katakan pada malaikat pertama yang ua temui adalah, "Di manakah Tuhan? Aku ingin berbicara pada-Nya."

Malaikat itu menjawab: "Ada ribuan orang mengantri untuk berbicara pada Tuhan. Lebih mudah bicara padaku, siapa tahu aku bisa membantu dengan keterbatasan ilahi-Ku."

Maka diceritakannyalah masalahnya pada si Malaikat. Di luar perkiraannya, si Malaikat tertawa.

"Anak bodoh. Mengapa Engkau manis tetapi penuh kebencian? Mengapa memilih cantik tapi berduri seperti mawar jika bisa tulus dan membuka diri seperti bunga matahari? Lagipula, Tuhan tidak bekerja dalam kebencian. Ia damai dan penuh kasih, tapi percayalah Ia akan menegakkan keadilan.

Lalu dituntunnya Adriana ke suatu antrian panjang di mana orang-orang disortir untuk menuju surga atau neraka.

Pada gilirannya, Adriana masuk dan bertemu Sang Hakim. Sang Hakim mendelik, memandang Adriana dari atas ke bawah. Neraca di hadapannya naik turun tidak karuan. Lalu tiba-tiba Adriana jatuh ke suatu pusaran yang terdiri dari warna-warna ruang dan waktu.

Di telinganya si Malaikat berbisik, "Tuh kan, Tuhan baik!"

"Di mana aku? Surga atau Neraka?"tanya Adriana penasaran.

"Yah bisa dikatakan keduanya."kata si Malaikat. "Kau kan manusia, kau pintar, punya akal. Kau boleh memilih sendiri mau hidup di Surga atau di Neraka. Pilih sendiri akhiratmu. Kubocorkan padamu ya, hidup adalah akhirat. Tuhan itu baik."lalu si Malaikat berlalu.

Adriana merenungkan kata-kata itu lamaaaaa sekali, di tempatnya yang baru. Tempat itu hangat dan nyaman, tetapi gelap. Adriana belum mengerti ucapan si Malaikat ketika tiba saatnya untuk meluncur lagi di suatu pusaran warna-warna. Tapi perjalanan kali ini agak basah.

Setelah itu ia menangis keras-keras.


Ooh! Rupanya ia telah dilahirkan kembali!

Dalam prosesnya Adriana berubah, Ia melupakan hidupnya yang lama dan menjadi pribadi baru. Ia menjadi seorang anak laki-laki kali ini, dan namanya adalah Dio.

Dio sama sekali lupa pada Adriana. Ia bahkan lupa pada si Malaukat. Tapi anehnya ia selalu ingat bahwa ia boleh memilih Surga.

Hidupnya ia buat sebahagia mungkin. Bahkan ketika ayahnya bangkrut, mereka harus pindah ke rumah yang kumuh dan jelek, lalu orangtuanya bercerai, Dio selalu ingat untuk bergembira. Ia selalu mencari kebahagiaan dari segala deritanya. Ia selalu ingat untuk bergembira dan meliaht segala sesuatunya dari berbagai sudut pandang.

Akhirnya di suatu titik hidupnya ia bertemu seorang gadis gemuk cantik bernama Adriana. Dio sangat menyukai gadis itu. Selalu diusahakannya kebahagiaan Adriana, salah satunya dengan kata-kata penyemangat dan kegembiraan.

Kebahagiaan mereka pun menulari orang-orang lain sehingga dunia menjadi lebih baik.

***

"Demikianlah Lila, maka jangan pernah patah semangat. Selalu bergembiralah dan pilih Surga untuk dirimu sendiri." kata si Burung Hantu.

Lila telah mengering air matanya. Ia duduk mendengarkan di atas rumput sambil makan sebutir ceri yang jatuh.

"Jadi...jadi... sebenarnya Dodo dan Dido menyukaiku?"tanyanya lugu.

Si Burung Hantu berdecak kesal.

"Bisa ya atau tidak."katanya."Bisa saja mereka sedang punya masalah di rumah."lanjutnya. "Tapi intinya, Sayangku, tidakkah kau lihat? Semua orang itu satu. Kita semua satu jiwa. Pada gilirannya kau akan menjadi aku dan aku akan menjadi engkau, mengerti? Memang sulit melihat orang lain sebagai diri kita sendiri, tapi itu lah kenyataannya. Perlakukanlah orang lain seperti kau ingin diperlakukan, karena mereka sejatinya dirimu juga. Dan pastikan kau dan mereka berada di dalam Surga, mengerti? Nah sekarang pergilah dan mainkan peranmu dalam kehidupan yang sekarang sebaik mungkin."

Lila pun bangkit dan merasa lebih gembira. Ia kembali ke bawah pohon cemara, siap berbagi Surga.

Si Burung Hantu kembali nyenyak dalam tidur siangnya.









Yogyakarta, 28 Juni 2012
Gisela Swaragita

Tuesday, June 26, 2012

Tuan yang Suka Menuding


Dari semua makhluk di kebun buah, si Burung Hantu-lah yang paling bijaksana dan paling punya banyak cerita. Walau pun ia selalu tampak mengantuk di siang hari, namun ia sangat hidup di malam hari.
Burung Hantu terbang ke kota-kota di malam hari, mengamati jati diri manusia setelah mereka melepas topeng pencitraan yang mereka pakai di siang hari. Di malam hari itu lah ia mengumpulkan banyak cerita kebijaksanaan untuk ia ceritakan pada anak-anak kurcaci, di sore hari setelah ia bangun tidur siang.

Di bawah ini adalah ceritanya yang sangat penting, yang ia ceritakan pada anak-anak kurcaci yang sudah mandi dan berkumpul di bawah pohon cerinya.
***
Adalah seorang pedagang yang sangat suka marah-marah dan sok kuasa. Pedagang itu seorang lelaki tua berperut buncit, tetapi kakinya tak cukup panjang atau lebar untuk membuat bentuknya seimbang. Kaki-kaki malang itu hanya dapat menampung tubuhnya yang tambun dan menyangga kepalanya yang licik dan kadang-kadang mereka bergetar karena beratnya. Rambut pedagang itu lebat tetapi sudah memutih akar-akarnya. Alis dan kumisnya juga lebat, akarnya putih tetapi ujung-ujungnya masih semburat hitam kemerahan.

Pedagang itu tinggal dengan istrinya yang bertubuh kurus dan jangkung. Tubuh itu nampaknya semakin memanjang seiring pajangnya kesabaran yang ia butuhkan untuk menghadapi suaminya itu. Di rumah mereka juga tinggal seorang gadis juru masak yang merangkap pelayan segala macam, dan seorang pria asisten urusan perdagangan yang juga merangkap pelayan segala macam ketika tuannya menghendaki.

Tak bisa dipungkiri jika mereka bertiga; sang istri, si juru masak, dan si asisten; tidak menyukai Tuan mereka karena sifatnya yang cepat naik darah dan nada suaranya yang selalu memerintah dan merendahkan lawan bicaranya. Di tambah lagi, Tuan Pedagang itu suka sekali menuding dan menunjuk-nunjuk orang. Mungkin ibunya dulu tak pernah mengajarinya bahwa menunjuk-nunjuk dan menuding orang itu tidak sopan.

Dengan jari-jarinya yang gemuk, Tuan Pedagang menuding-nuding orang, menunjuk-nunjukkan kesalahannya, dan mengolak-alik kegagalan orang sebagai bahan tertawaan. Lidahnya yang tajam dan mulutnya yang lebar senantiasa menusuk dan menunjuk, menjelaskan dengan diselingi tawa mengejek, apa yang tak bisa dijelaskan jari-jarinya yang tak bisa berkata-kata. Uniknya, Tuan Pedagang selalu menunjuk orang dengan kelima jari tangan kanannya. Ternyata Tuan Pedagang adalah orang yang percaya dengan pepatah, “Ketika kau menunjuk orang dengan telunjukmu, keempat jarimu yang lain menunjuk dirimu sendiri.” Tuan Pedagang memutuskan jalan keluarnya dari pepatah ini ketika ia tetap ingin menuding orang adalah dengan menggunakan kelima jarinya itu. Lama-kelamaan, hal ini menjadi kebiasaan. Tuan Pedagang merasa telah bebas dari keempat jari yang akan menuding dirinya sendiri ketika ia menuding orang lain itu dengan cara mengerahkan kelima jarinya untuk menunjuk orang yang ingin ia hina, di dalam ruangan ataupun di depan umum. Memang, kadang ia melakukan itu untuk memberikan kritik yang membangun, namun lebih sering ia melakukannya hanya untuk hiburan saja.

Orang yang paling jengkel dengan keadaan ini adalah Si Asisten. Ia sungguh bosan dan muak ditunjuk-tunjuk dengan lima jari gemuk, lalu dihinakan di depan rekan-rekan bisnis atau para pelanggan. Gurauan favorit Tuan Pedagang adalah mengenai rambutnya atau kulitnya. Si Asisten adalah pendatang dari timur yang kulitnya gelap dan rambutnya keriting kemerahan, berbeda dengan Tuan Pedagang yang rambutnya halus dan berkulit terang. Agar dirinya tidak tampak terlalu mencolok, Si Asisten menganggarkan sebagian gajinya untuk membeli Eliksir Pemutih Kulit dan Eliksir Pelurus Rambut, yang juga dijual di toko mereka.

Sampai pada tahun keempatbelasnya ia menjabat menjadi asisten pedagang, Tuan Pedagang menghinakan Si Asisten di depan seorang Raja dari Timur Laut yang datang untuk mengekspor beberapa barang. Raja dari Timur Laut itu kulitnya merah liar dan rambutnya ikal awut-awutan. Dengan sopan dan sedikit menjilat Tuan Pedagang menawarkan Eliksir Pemutih Kulit dan Eliksir Pelurus Rambut mereka yang terbaik. “Eliksir-eliksir terbaik yang dapat Anda temui, Paduka. 99 dari 100 orang yang mencoba mendapatkan kulit terang seperti matahari dan rambut lurus halus seperti serat sutra. Hanya saja, mohon maaf, Paduka, mohon jangan melihat apa yang terjadi pada Si Asisten hamba ini. Ia lah si 1 yang tidak beruntung daripada 100 orang yang menggunakan Eliksir tersebut.” Ujarnya sambil menunjuk Si Asisten dengan kelima jari gemuknya.

Raja berkulit merah itu tergelak-gelak geli. Melihat Raja senang dengan gurauannya, Tuan Pedagang melanjutkan kata-kata pedasnya dan menunjuk-nunjuk kekurangan-kekurangan fisik Si Asisten. Dengan jari-jarinya yang gemuk ditariknya Si Asisten yang malang supaya mendekat. Jari-jari itu kemudian menyibakkan rambut yang tumbuh lebat seperti semak-semak itu, menunjukkan betapa keritingnya manusia jenis ini. Dikatakannya pula bahwa dulu Si Asisten ketombean dan rambutnya lebih merah daripada air buah pinang, sebelum Tuan Pedagang menyuruhnya memakai Eliksir Pelurus Rambut. “Lihat, yang begini saja sudah kemajuan pesat, Paduka. Dan lihat pula kulitnya yang sewarna kopi susu pekat ini. Dulu warna kulitnya sehitam kopi tanpa susu, Paduka.”

Raja itu tergelak-gelak geli sampai terbungkuk-bungkuk. Ketika ia dan rombongannya meninggalkan tempat itu, mereka membawa sekereta Eliksir dan meninggalkan sepeti emas serta sebilah pedang bertatahkan permata khas negerinya sebagai bayaran.

Si Asisten tidak ikut senang dengan transaksi yang sukses besar itu. Sebaliknya, dadanya menyimpan dendam yang sangat hebat. Dendam itu makin berkecamuk ketika Tuan Pedagang mengulang gurauan itu di meja makan malam karena mengira istrinya dan Si Juru Masak juga mengira gurauan itu lucu. Kedua perempuan itu hanya sanggup pura-pura tertawa sambil memandang Si Asisten dengan iba ketika Tuan
 Pedagang mengulang cerita tadi siang sambil menghinakan Si Asisten.

Seusai makan malam, Si Juru Masak membereskan meja dan mencuci piring sementara sang istri masuk ke ruang kerja untuk membukukan transaksi besar tadi siang itu. Tuan Pedagang masuk ke kamarnya dan naik ke ranjang dengan perasaan lelah tetapi puas. Tak seberapa lama kemudian, Si Asisten yang sedang gelap mata dan dirubung dendam itu masuk ke dalam kamar. Tuan Pedagang telah terlelap dan sedang bermimpi indah ketika Si Asisten meraih pedang bertatahkan permata dari pajangannya di dinding. Si Asisten lalu menebas kelima jari gemuk yang telah mengoyak harga dirinya itu dengan pedang.

Jeritan Tuan Pedagang terdengar sampai seluruh penjuru desa. Istrinya dan pelayannya tergopoh-gopoh membantunya, sedangkan aparat desa berdatangan dan menangkap Si Asisten. Si Asisten turut dengan patuh.

“Biar kutebas jari-jarimu yang keji itu, Tuan, agar jiwamu tak ikut masuk ke neraka terseret oleh dosa-dosa mereka!” begitu ucapan terakhirnya pada majikannya sebelum aparat desa menjebloskannya ke dalam penjara.
 

Di pengadilan, Si Asisten mengakui kesalahannya dan menerima hukumannya dengan ikhlas. Hakim memutuskan menghukum orang berbahaya ini dengan menenggelamkannya ke dalam danau. Si Asisten berdoa sebelum ditenggelamkan, “Semoga jiwaku direngkuh oleh Tuhan, dan jikalau aku dikembalikan ke dunia, biarlah aku menjadi orang berkulit terang berambut lurus tanpa jari-jemari jahat untuk menghinakan orang.”

Dan tenggelamlah ia di kedalaman danau.

Sementara itu, Tuan Pedagang sembuh dengan cepat dalam perawatan istrinya dan Si Juru Masak. Ia telah kehilangan jemari tangan kanan, dan ia sekarang harus mengajari jemari tangan kirinya keahlian jemari tangan kanan, seperti menulis, menusuk makanan dengan garpu, dan menghitung dengan kalkulator kayu. Kelima jemari itu terlalu sibuk untuk belajar menuding dan menunjuk, tetapi Tuan Pedagang tak kurang akal. Ia menggunakan dagunya untuk menunjuk dan menuding orang. Lagipula ternyata dagu dan mulut letaknya lebih dekat jadi mereka lebih mudah bekerja sama. Sindiran-sindirannya menjadi lebih tajam dan ucapan-ucapannya menjadi lebih kasar. Dihinakannya istrinya yang setia dan Si Juru Masak yang telah meracikkannya makanan bergizi supaya ia cepat sembuh.

Si Juru Masak rupanya lebih pendek sabar dibandingkan istri Tuan Pedagang. Pada waktu itu telah setahun setelah jemari Tuan Pedagang ditebas dan sekarang ia telah sembuh. Tuan Hakim datang berkunjung untuk makan malam sambil menyelesaikan urusan administrasi kasus setahun yang lalu itu. Si Juru Masak diharuskan memasak masakan yang mewah untuk menyambut Tuan Hakim. Ia juga harus mebukakan pintu ketika Tuan Hakim tiba, menyimpan sepatu dan mantelnya, dan melayani mereka makan.

Tuan Hakim mengetuk dengan sopan ketika ia tiba. Si Juru Masak membukakan pintu dengan sopan pula dan menyimpankan sepatu dan mantel Tuan Hakim. “Puan, Tuan Hakim sudah datang,”ujarnya sambil mengantar Tuan Hakim ke kamar makan. Sang Puan yang sedang mengatur piring mentega supaya terlihat lebih cantik menyilakan Tuan Hakim duduk di sisi meja di sebelah Tuan Pedagang, yang sedang menunjuk-nunjuk dengan dagunya makanan apa saja yang ia ingin makan.

Acara makan segera berlangsung dengan ceria. Sang Puan menaruh makanan banyak-banyak di piring setiap orang. Si Juru Masak berkeliling menambah anggur di cawan mereka ketika telah habis. Lama-kelamaan, pembicaraan menjurus pada Si Asisten yang telah menebas jemari Tuan Pedagang setahun yang lalu.

“Sayang sekali, anak baik sesungguhnya, dia itu,” kata Tuan Pedagang. “Tapi tentu saja kita kan tidak tahu apa yang ada dalam otaknya. Ternyata dia itu gila. Untung bagimu kan, eh, Juru Masak?”

Si Juru Masak yang sedang menuang anggur di cawan Sang Puan terkejut. “Maaf, Tuan.” Katanya. “Apa maksud Tuan?”

“Untung bagimu rupanya Si Asisten menunjukkan belangnya bahwa dia itu ternyata gila sebelum kalian melangsungkan rencana kawin lari kalian itu, yang pasti akan sangat memalukan.”

“Apa maksud Tuan? Saya tidak mengerti.”kata Si Juru Masak.


“Oh ya, Tuan Hakim,”kata Tuan Pedagang, dagunya meruncing menunjuk Si Juru Masak. “Si Juru Masak bodoh ini telah yakin Si Asisten itu dulu mencintainya, aku tahu mereka pacaran diam-diam. Di kebun, di padang rumput, di belakang lumbung. Kalian pacaran diam-diam dan si gadis bodoh ini telah termakan rayuan orang keriting gila itu. Aku tahu mereka akan menikah dan pergi meninggalkan negeri ini. Oh aku tahu. Tapi kemudian si gila itu malah menebas jari-jariku, dan meninggalkan si bodoh ini tanpa perasaan. Ha ha ha ha…” Tuan Pedagang tertawa terbahak-bahak. “Tambah anggurnya, Bodoh! Ha ha ha ha…”

Pipi Si Juru Masak bersemu merah sekali. Yang dikatakan Tuan Pedagang itu tentu saja benar, tetapi ia simpan rapat-rapat. Ia tak pernah sedikitpun meneteskan air mata ataupun mengeluh setelah kekasihnya meninggal dihukum tenggelam. Dendam pun berkecamuk di hatinya, sama seperti waktu itu di hati Si Asisten. Dengan galau ia melanjutkan melayani tuan-tuan dan puannya. Tak sepatah kata pun ia ucapkan untuk membalas.

Malam itu, Tuan Hakim yang baik pulang setelah berkata pada Si Juru Masak ketika ia menyerahkan mantel dan sepatunya, “Jangan masukkan ke dalam hati ya, Anakku. Orang yang sakit dan cacat seperti itu memang emosional sekali.” Si Juru Masak hanya menjawab “Ya, Tuan. Hati-hati di jalan, Tuan.” sementara batinnya masih perih karena ucapan jahat majikannya tadi.

Setelah meja dibereskan, Sang Puan masuk ke ruang kerja untuk mengarsipkan dokumen-dokumen kasus yang tadi diserahkan Tuan Hakim setelah makan malam. Tuan Pedagang masuk ke dalam kamar. Si Juru Masak mencuci piring. Tetapi ia mencuci piringnya cepat sekali, dan ia lap pula piring-piring itu dengan kecepatan kilat. Setelah itu, ia mengambil pisaunya yang paling besar untuk memotong daging. Ia mengendap-endap masuk ke dalam kamar Tuan Pedagang yang telah terlelap. Ditebasnyalah dagu Tuan Pedagang dengan pisau daging itu.

Tuan Pedagang menjerit sejadi-jadinya. Sang Puan tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar dan membantu suaminya yang sedang berdarah-darah itu. Dalam sekejap saja, aparat desa termasuk Tuan Hakim yang waktu itu masih dalam perjalanan pulang tiba di rumah Tuan Pedagang. Mereka menangkap Si Juru Masak dan menejbloskannya dalam penjara.



Tuan Hakim sendiri menjadi saksi dalam kasus ini, karena ia menyaksikan betapa kejamnya dagu yang telah tertebas itu mengulik-ulik kisah cinta memalukan Si Juru Masak. Ia tak tega menghukum gadis yang sebenarnya baik itu. Tetapi masyarakat tidak ingin ada tukang masak jahat yang membawa-bawa pisau daging untuk menebas dagu orang sembarangan. Maka mereka menghukumnya dengan memasukkannya ke dalam tungku api.
“Kutebas dagunya agar jangan jiwanya terseret ke neraka karena kejahatan dagu itu,”jawab Si Juru Masak. “Namun kurasa sekarang aku akan jatuh ke neraka karena dosa hati dan kedua tanganku. Semoga Tuhan mengampuni jiwaku!”

Dan terbakarlah ia di dalam tungku api.


Tuan Hakim terkoyak perasaannya karena ia tak dapat berbuat apa-apa untuk gadis itu. Maka ia menjual semua miliknya dan mengajak keluarganya pindah ke negeri yang jauh, di mana orang-orang sopan pada satu sama lain.

Kini tinggal Sang Puan dan Tuan Pedagang di rumah mereka. Seperti yang dapat diduga, Tuan Pedagang tidak menghilangkan kebiasaan menuding dan menunjuknya yang menyebalkan itu. Mulutnya juga tetap tajam dan durjana membalikkan apa-apa yang jelek dari orang lain. Kini setelah ia kehilangan jemari dan dagunya untuk menunjuk-nunjuk, ia menggunakan kedua matanya untuk menunjuk. Ditemukannya bahwa ternyata bola mata adalah alat yang sangat berguna untuk menunjuk dan menuding, melirik dan membolak-balik kesalahan, kegagalan, dan kecacatan orang lain. Ternyata bola mata dapat berkilat-kilat jahat dan dapat menyipit tajam dan dapat pula mengedip nakal untuk menekankan kesan pada gurauan-gurauannya yang kejam dan kritik-kritiknya yang keji.

Betapa hebatnya Sang Puan, tubuhnya sampai melar begitu jangkung karena panjangnya sabarnya, dan tubuhnya menjadi semakin ramping karena banyaknya tugas yang harus ia kerjakan. Kini ia juga adalah asisten pedagang sekaligus juru masak bagi rumah tangga itu. Bahkan, kini ia juga menjadi Puan Pedagang, menggantikan Tuan Pedagang yang telah kehilangan jari-jari dan dagunya yang kini hanya duduk di balik meja kasir di muka toko. Sang Puan menggantikannya dalam hal menawarkan dan menjelaskan fungsi-fungsi barang, tawar-menawar harga, dan berkorespondensi dengan rekan-rekan bisnis di seluruh dunia.

Tuan Pedagang yang duduk-duduk saja menerima uang dan memberikan kembalian kerap kali melontarkan kritik pedas atau gurauan menyebalkan ke ujung ruangan di mana istrinya sedang melayani pembeli. Matanya mengikuti gerak-gerik istrinya ke mana-mana. Ketika Tuan Pedagang ingin istrinya pergi ke sana, ia berteriak dan menunjuk ke sana dengan matanya. Ketika Tuan Pedagang ingin istrinya ke sini, ia berteriak dan menunjuk ke sini dengan matanya. Lama-kelamaan para pelanggan menjadi muak dengan sikap Tuan
 Pedagang pada istrinya. Tuan Pedagang itu sangat besar mulut dan sering mengumbar kelemahan istrinya di depan umum. Mereka tidak tega melihat seorang istri yang telah tumbuh begitu jangkung karena panjangnya kesetiaannya dihinakan di depan mereka. Akhirnya, tak seorangpun datang ke toko mereka. Para pelanggan memilih pergi ke tempat lain yang mungkin lebih sempit dan tidak mewah tetapi pemiliknya sopan dan ramah.

Di antara para pelanggan yang pergi itu, ada seorang pelanggan yang tetap setia datang, seorang gadis kecil berpipi merah jambu. Ia datang setiap hari untuk membeli sebungkus permen jahe seharga setengah perak. Setengah perak adalah uang sakunya untuk sehari, dan ia belanjakan setengah perak itu untuk permen jahe kesukaannya. Ia selalu datang ke tempat itu karena di situlah satu-satunya yang menjual permen jahe yang rasanya pas di lidahnya. Sungguh disayangkan, pelanggan yang tinggal satu-satunya itu pun menjadi incaran cecar mata tukang tuding Tuan Pedagang. Mungkin karena tidak ada lagi orang lain untuk ditunjuk dan dituding, maka ia lampiaskan nafsu menunjuk dan menudingnya pada seorang gadis kecil takbercela yang datang padanya untuk membeli sebungkus permen jahe dengan uang setengah perak.

Tudingan, cecaran, dan hinaannya sangatlah keji untuk diucapkan kepada seorang gadis kecil sehingga takpantaslah untuk ditulis. Pokoknya, pada hari itu si gadis menangis tersedu-sedu karena hinaan Tuan Pedagang. Sementara Tuan Pedagang tertawa terbahak-bahak sampai perut buncitnya terguncang-guncang di belakang meja kasir. Anak kecil itu menaruh uang setengah peraknya di meja Tuan Pedagang dan mengambil permen jahenya sambil menangis.

Sang Puan yang dari tadi berdiri mengawasi dari sudut ruangan pun menjadi jatuh iba pada anak kecil itu. Sementara Tuan Pedagang masih tergelak-gelak sampai matanya terpejam karena tawanya dan air matanya bercucuran karena gelinya, Sang Puan meraih toples besar berisi permen jahe dan mengejar si gadis kecil itu. Di serahkannya toples penuh permen jahe itu pada si anak gadis sambil meminta maaf atas kelancangan suaminya. Gadis kecil itu menerima toples jahe itu sambil masih tersedu-sedu lalu berterimakasih pada perempuan baik hati itu.

Sang Puan pun kembali ke dalam tokonya yang sepi itu, mengambil pensil dari atas buku neracanya, dan berjalan ke meja kasir. “Tuan, lihatlah saya,”ujarnya pada Tuan Pedagang yang masih terbahak itu. Tuan Pedagang, masih menyengir geli, membuka mata menatap istrinya. Sang Puan pun segera menancapkan pensil tersebut ke dalam kedua mata Tuan Pedagang yang masih berkilat-kilat karena kegelian.


Tuan Pedagang segera berteriak sejadi-jadinya. Tetapi Sang Puan segera meraih kain pembebat dari rak pajangnya dan membebatkannya ke mulut Tuan Pedagang yang keji itu. Kini Tuan Pedagang tak lagi dapat melihat, berceloteh, maupun menunjuk-nunjuk.

Aparat desa segera datang untuk melihat keributan itu dan segeralah mereka menangkap Sang Puan yang baik hati dan panjang sabar itu. Sang Puan ikut dengan menurut. Kasihan Tuan Pedagang, walaupun aparat desa menangkap pelaku penusuk matanya, tak seorang pun di desa itu yang menolong atau pun merawat Tuan Pedagang, melepaskan bebatan mulutnya, atau pun memapahnya keluar dari tokonya yang sepi.

Masyarakat memutuskan Sang Puan berbahaya karena ia terbukti mampu menusuk mata orang-orang tanpa ampun dan bahkan membebat mulut korbannya supaya jangan berteriak. Mereka memutuskan hukuman minum racun adalah yang paling tepat. Sang Puan tidak berbicara apa pun di depan umum sebelum ia meminum racunnya. Mungkin ia berdoa dalam hati, dan rasa-rasanya berdoa di dalam hati memang lah yang paling tepat.

Dan tewaslah Sang Puan yang baik hati dan panjang sabar itu karena minum racun.
Sementara itu, Tuan Pedagang yang kini hanya punya lima jari tangan kiri, tak punya dagu, matanya buta, dan mulutnya terbebat kain, berhasil merangkak keluar tokonya yang sepi itu. Ia tinggal di teras tokonya dan membisu sepanjang sisa hidupnya. Ia tidak melatih sisa anggota tubuhnya yang lain untuk menuding dan menunjuk. Masyarakat tidak membuka bebatan kain di mulutnya. Mereka rasa itu yang terbaik. Tuan Pedagang hidup dari belas kasihan orang lewat yang melemparkan makanan dan sedikit perak. Masyarakat kini menyebutnya Si Pengemis.



Gisa, Yogyakarta, 3 Agustus 2011





***

"Ceritanya seram sekali,"kata Pipo yang masih terbelalak ngeri. Bedak yang ia pakai sehabis mandi jadi cemong-cemong karena keringat dingin.
"Tapi aku suka sekali!"komentar Dodo, si gemuk yang pura-pura kekar, sukanya membuat pedang-pedangan dari jerami untuk menggoda teman-temannya.
"Apakah kau akan mencari cerita-cerita lagi, Burung Hantu?"tanya Lila dan Fusia yang manis, penakut, tapi sebenarnya suka sekali mendengar cerita-cerita seram.
"Mungkin,"kata si Burung Hantu. Ia menyisir bulu-bulu sayapnya, bersiap-siap terbang jauh ke kota yang lain. Mencari cerita-cerita tersembunyi untuk diceritakan kembali.
Ketika matahari tenggelam, anak-anak kurcaci berombongan kembali ke bawah pohon cemara raksasa. Si Burung Hantu terbang melintasi malam di bawah cahaya bulan yang keperakan.